December 8, 2024

Sidang MK dihadiri seluruh parlemen

Mediasiutama.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan soal sistem pelaksanaan pemilu 2024. Artinya pelaksanaannya tetap dilakukan secara terbuka. Putusan itu tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 114/PUU-XIX/2022 yang dibacakan, pada Kamis (15/6/2023) siang.

“Amar putusan, mengadili dalam provisi, menolak pemohon provisi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk semuanya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, dilansir melalui streaming media sosial, Kamis (15/6/2023) siang.

Anwar melanjutkan, ada satu hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan tersebut, yakni Hakim MK Arief Hidayat.

“Pendapat berbeda, bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo , hakim konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion),” ujar Anwar.

Dalam pandangannya, Arief menyatakan, demokrasi permusyawaratan-perwakilan menurut Bung Karno memiliki fungsi ganda, yang menjadi sarana mengadu gagasan, gagasan dan aspirasi golongan yang ada di masyarakat dalam suatu badan perwakilan.

Dalam kerangka itu pula lah sistem pemilu harus diletakkan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi perwakilan rakyat, memilih para wakilnya melalui kendaraan partai politik,” terang Arief.

Dalam dissenting opinion tersebut, Arief pun mengusulkan agar pelaksanaan sistem Pemilu 2024 dilaksanakan secara proporsional terbatas. “Sistem pemilu terbuka proporsional terbatas itulah yang saya usulkan,” ungkapnya.

Gugatan uji materi sistem Pemilu diajukan ke Mahkamah Konstitusi sejak November 2022. Penggugatnya adalah kader PDIP Demas Brian Wicaksono, kader Partai NasDem Yuwono Pintadi, kemudian Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).

Uji materi dilakukan terhadap Pasal 168 ayat 2 terkait sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu. Sistem proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang menampilkan nama dan nomor urut calon legislatif di kertas suara. Sementara sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan di mana para pemilih hanya mencoblos gambar partai.

Para pemohon menilai sistem proporsional terbuka membawa lebih banyak keburukan, sebab membuat caleg dari satu pihak akan saling bersikukuh untuk mendapatkan suara terbanyak. Para penggugat menilai sistem itu juga memunculkan politik uang karena caleg berebut mendapatkan nomor urut paling kecil.

Hal itu membuat partai kader yang lebih berpengalaman kalah dengan mereka yang populer dan punya modal besar.

Delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.(*)

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *