
Mediasiutama, KUTAI KARTANEGARA – Sekitar 30 persen wilayah Kutai Kartanegara (Kukar) merupakan kawasan lahan gambut yang rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kondisi ini menjadikan ancaman kebakaran gambut sebagai salah satu perhatian serius pemerintah daerah karena dampaknya sangat luas dan berisiko tinggi bagi lingkungan serta kesehatan masyarakat.
Lahan gambut memiliki karakteristik berbeda dengan tanah mineral. Jika terbakar, api dapat merambat di bawah permukaan tanah tanpa terlihat dari luar. Bara api di dalam gambut sering kali tetap menyala meski di permukaan tampak padam, sehingga mempersulit proses pemadaman dan membutuhkan waktu yang jauh lebih lama.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kukar, Taufik, menegaskan bahwa kebakaran pada lahan gambut menjadi tantangan berat bagi petugas di lapangan.
“Kebakaran gambut lebih sulit ditangani. Api baru diketahui setelah menyebar luas, dan proses pemadamannya butuh waktu lama,” ujarnya belum lama ini.
Ia menjelaskan, penanganan karhutla di kawasan gambut membutuhkan biaya besar dan peralatan khusus. Karena itu, pemerintah daerah melarang keras praktik pembakaran untuk pembukaan lahan di wilayah gambut, sebab risikonya tidak hanya menimbulkan kerusakan ekosistem tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat akibat kabut asap tebal.
“Kalau gambut terbakar, dampaknya bisa meluas hingga keluar daerah. Kerugiannya tidak hanya lokal, tapi regional,” tambahnya.
Taufik menyebut, asap yang dihasilkan dari pembakaran lahan gambut cenderung bertahan lama di udara dan sulit diurai. Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan pernapasan, menurunkan kualitas udara, dan bahkan mempengaruhi wilayah di luar Kukar hingga antarprovinsi.
Untuk mencegah hal tersebut, DLHK Kukar bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), TNI, dan Polri memperketat pengawasan di area gambut. Tim gabungan rutin melakukan patroli ke titik-titik rawan serta memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak lagi menggunakan api untuk membuka lahan.
“Butuh kesadaran bersama. Satu api kecil di lahan gambut bisa berubah menjadi bencana besar,” tegas Taufik.
Selain memperkuat pengawasan, pemerintah daerah juga terus mendorong penerapan teknologi pembukaan lahan tanpa bakar. Meski metode ini memerlukan biaya awal yang lebih tinggi, namun dianggap jauh lebih aman, efisien, dan berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
“Alternatif tanpa bakar memang tidak instan. Tapi dibanding risiko karhutla, pilihan ini jauh lebih masuk akal,” jelasnya.
Upaya pencegahan ini menjadi prioritas utama agar kebakaran lahan gambut tidak kembali terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya. DLHK Kukar berharap kesadaran masyarakat semakin meningkat dan seluruh elemen dapat berperan aktif dalam menjaga wilayahnya agar terhindar dari ancaman kebakaran.
Dengan pengawasan ketat, penerapan teknologi ramah lingkungan, dan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat, pemerintah daerah optimistis potensi karhutla di wilayah gambut Kukar dapat ditekan secara signifikan demi keselamatan lingkungan, kesehatan, dan kesejahteraan bersama.
Adv/DLHK kukar

