October 6, 2025

Mediasiutama.com, Samarinda – Kepolisian Resor Kota (Polresta) Samarinda kembali menorehkan capaian penting dalam menjaga stabilitas keamanan. Aparat berhasil mengungkap kasus perencanaan bom molotov yang akan digunakan dalam aksi unjuk rasa di Samarinda.

Dua orang yang diduga sebagai otak intelektual berinisial N S (37) dan A J alias L (43) ditangkap saat bersembunyi di lahan kebun milik keluarga di kawasan Kilometer 47, Kelurahan Bukit Merdeka, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, pada Kamis (3/9/2025) sore.

“Dengan diamankannya dua perencana utama, total tersangka kini berjumlah enam orang,” ungkap Kapolresta Samarinda Kombes Pol Hendri Umar dalam konferensi pers di Aula Rupatama Mapolresta Samarinda, Jumat (5/9/2025) malam.

Penyelidikan mengungkap bahwa rencana pembuatan bom molotov dimulai sejak 29 Agustus 2025, dicetuskan oleh tersangka N dan disepakati rekan-rekannya. Pada 31 Agustus, mereka membeli bahan-bahan seperti botol kaca, kain perca, dan bahan bakar pertalite. Bahan-bahan itu sempat hendak dirakit di sebuah lokasi, sebelum dipindahkan ke Jalan Banggeris dan diserahkan ke tersangka lain.

Sebelumnya, polisi lebih dulu mengamankan empat mahasiswa FKIP Universitas Mulawarman yang diduga terlibat dalam proses perakitan dan penyimpanan bahan peledak.

Kapolresta menjelaskan, bom molotov tersebut direncanakan digunakan sebagai alat kejut dalam aksi unjuk rasa di Kantor DPRD Kaltim pada 1 September lalu. Namun, rencana itu berhasil digagalkan berkat koordinasi cepat antara Polresta Samarinda, Jatanras Polda Kaltim, dan Subdit Tipidum.

Dalam pengungkapan kasus, polisi menyita 27 bom molotov siap pakai, 12 lembar kain perca, dua petasan, jerigen berisi pertalite, tiga unit ponsel, serta sejumlah selebaran dan dokumen gerakan mahasiswa.

Para tersangka dijerat Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 serta Pasal 187 KUHP tentang penyalahgunaan bahan peledak, dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.

“Kami terus mengembangkan kasus ini untuk memastikan apakah masih ada pihak lain yang terlibat. Polri berkomitmen menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, termasuk di lingkungan kampus,” tegas Kombes Hendri.

Kasus ini menjadi pengingat penting bagi mahasiswa dan masyarakat agar tidak terprovokasi melakukan tindakan berbahaya yang justru merugikan diri sendiri maupun orang lain. Aksi unjuk rasa adalah hak demokratis, namun harus dilakukan secara damai, konstitusional, dan tidak melanggar hukum. (Yuliana W)

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *