
Mediasiutama.com, Tenggarong – Rangkaian Erau Adat Kutai Kartanegara Ing Martadipura tahun 2025 resmi dimulai dengan prosesi sakral Beluluh Sultan yang digelar di Kedaton Kesultanan, Kamis (18/9/2025). Prosesi ini dimaknai sebagai penyucian diri Sultan sebelum seluruh kegiatan adat dilaksanakan, sekaligus menjaga marwah leluhur serta memperkuat peradaban yang sudah berakar di tanah Kutai sejak berabad-abad silam. Tradisi ini bukan sekadar ritual, melainkan juga momentum spiritual dan kebudayaan yang menjadi fondasi bagi keberlangsungan identitas masyarakat Kutai di tengah perubahan zaman.
Prosesi diawali dengan lantunan doa yang dipimpin oleh tokoh agama. Dalam doanya, ia memohon kepada Allah SWT agar adat istiadat leluhur tetap terjaga. “Ya Rahman, Ya Rahim, berilah kami kekuatan untuk menjaga dan melestarikan warisan ini agar tidak tergerus zaman. Pimpahkanlah rahmat dan hidayah-Mu kepada kami semua agar senantiasa diberi kedamaian, kesehatan, dan kesejahteraan,” ucapnya, yang disambut dengan suasana hening dan penuh khidmat. Momen doa tersebut mengingatkan bahwa pelaksanaan Erau bukan hanya pesta budaya, melainkan juga wujud syukur dan pengharapan kepada Sang Pencipta.
Selain prosesi doa, Menjamu Benua juga menjadi bagian penting dalam Erau. Tradisi ini menyajikan 41 macam kue khas Kutai, aneka makanan tradisional, serta hidangan ayam sebagai lambang sesaji. Seorang tokoh adat menuturkan bahwa makanan itu merupakan bentuk undangan bagi entitas tak kasat mata yang diyakini ikut menyaksikan jalannya upacara. “Biasanya kalau bikin kue itu tidak boleh sembarangan. Kami yang membuatnya tidak boleh makan dan harus menjaga kesucian agar sajian benar-benar layak dihidangkan,” jelasnya. Tradisi ini mencerminkan betapa erat hubungan masyarakat Kutai dengan alam semesta serta keyakinan akan keseimbangan dunia nyata dan dunia gaib.
Penempatan tebu di hulu, tengah, dan hilir kampung juga memiliki makna mendalam. Filosofi tersebut melambangkan harapan agar berkah dan keselamatan merata ke seluruh penjuru kampung, tanpa terkecuali. Tokoh adat lainnya menjelaskan bahwa dalam konteks magis, prosesi Erau diyakini turut dihadiri makhluk tak kasat mata, sehingga sesaji menjadi wujud penghormatan sekaligus menjaga harmoni. “Kalau berbicara magisnya, memang dalam pelaksanaan Erau diyakini ada yang hadir dari alam tak kasat mata, sehingga harus diundang melalui sesaji,” terangnya. Hal ini menunjukkan bagaimana tradisi Kutai memadukan dimensi spiritual, sosial, dan budaya dalam satu kesatuan.
Bupati Kutai Kartanegara melalui Asisten III, David Harianto, turut memberikan sambutan resmi. Ia menegaskan bahwa prosesi Beluluh Sultan merupakan warisan adat turun-temurun sejak Sultan pertama, Haji Batara Agung Dewa Sakti, yang dipercaya membawa kewibawaan sekaligus perlindungan bagi rakyat. “Prosesi ini merupakan simbol pembersihan Sultan dari unsur negatif, sekaligus doa keselamatan bagi Sultan dan seluruh rakyat Kutai Kartanegara,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa Beluluh Sultan bukan hanya ritual simbolis, tetapi juga representasi nilai-nilai kepemimpinan yang mengutamakan kesucian hati dan ketulusan dalam mengayomi masyarakat.
Dalam kesempatan itu, David menambahkan bahwa pemerintah daerah memiliki komitmen kuat dalam melestarikan adat budaya. “Pemerintah Kukar berkeyakinan bahwa adat istiadat bukan hanya sesuatu yang sakral, tetapi juga identitas budaya yang membedakan kita dari daerah lain. Tradisi ini harus diwariskan kepada generasi mendatang, meski dihadapkan pada gempuran teknologi dan arus globalisasi yang begitu cepat,” ujarnya. Menurutnya, pelestarian budaya lokal menjadi salah satu bentuk pembangunan karakter bangsa, yang selaras dengan visi pemerintah dalam menjaga keberagaman dan memperkuat persatuan nasional.
Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-21, Dr. H. Muhammad Arifin, M.Si., dalam pidatonya menyampaikan apresiasi atas dukungan semua pihak, baik pemerintah daerah, tokoh adat, maupun masyarakat. “Beluluh Sultan bermakna mensucikan diri dari energi negatif dengan buluh sebagai simbol peluluhan. Dengan kesucian hati, Sultan dapat memimpin dengan bijaksana. Erau bukan hanya pesta adat, tetapi juga warisan leluhur yang mampu mempersatukan budaya, menumbuhkan kreativitas seni, dan memperkuat silaturahmi antarmasyarakat,” tutur Sultan. Ia menegaskan bahwa tradisi ini adalah perekat sosial yang menjaga harmoni antara generasi tua dan generasi muda.
Dengan mengusung tema Menjaga Marwah Peradaban Nusantara, Erau Adat 2025 diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat identitas budaya bangsa sekaligus mempersatukan masyarakat dalam bingkai kebhinekaan. Sultan mengajak seluruh elemen masyarakat agar tetap menjaga nilai-nilai etika dan sakralitas selama prosesi berlangsung. “Dengan adat kita membangun peradaban, dengan budaya kita merajut persatuan. Mari kita wariskan kebesaran leluhur ini sebagai cahaya peradaban untuk anak cucu di masa depan,” pungkasnya. (Yuliana W)