September 19, 2025

Ist.

Mediasiutama.com, Tenggarong – Masyarakat Kutai Kartanegara hingga kini masih memegang erat kepercayaan tentang adanya hubungan antara kehidupan manusia dengan alam gaib. Kepercayaan itu tercermin dalam rangkaian Erau Adat Kutai, sebuah festival budaya dan adat yang digelar setiap tahun. Salah satu prosesi penting yang mengawali Erau adalah ritual Menjamu Benua, sebuah tradisi sakral yang dilaksanakan sebelum seluruh rangkaian acara dimulai.

Ritual Menjamu Benua memiliki makna sebagai bentuk pemberitahuan kepada alam gaib bahwa Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura telah menetapkan waktu pelaksanaan Erau. Melalui prosesi ini, masyarakat berharap seluruh makhluk halus tidak mengganggu jalannya acara, melainkan ikut menjaga keselamatan dan kelancaran kegiatan. Prosesi ini sekaligus menjadi simbol doa bersama demi keberkahan Erau.

“Menjamu Benua adalah sarana adat untuk memohon izin dan perlindungan. Selain kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga kepada penjaga alam gaib agar Erau berjalan dengan selamat,” ungkap Awang Imaluddin, salah seorang pemangku ritual sakral di Keraton Kutai.

Pelaksanaan Menjamu Benua dipimpin oleh rombongan adat yang beranggotakan 7 dewa (dukun perempuan), 7 belian (dukun laki-laki), 7 pangkon bini, dan 7 pangkon laki. Mereka diiringi tabuhan gendang dan gamelan yang menghidupkan suasana sakral sepanjang prosesi. Uniknya, rombongan ini juga membawa pakaian Sultan sebagai simbol kehadiran beliau, karena dalam adat Sultan tidak harus hadir secara langsung di setiap tahapan ritual.

Rombongan membawa sesajian yang akan diletakkan di tiga titik penting, yakni Kepala Benua di Kelurahan Mangkurawang sebagai lambang wilayah hulu Tenggarong, Tengah Benua di depan Keraton Kutai sebagai pusat wilayah, dan Buntut Benua di Kelurahan Timbau sebagai simbol hilir. Ketiga titik ini menggambarkan batas wilayah utama Tenggarong yang sejak masa lalu menjadi pusat Kesultanan Kutai Kartanegara.

Sesajian yang dibawa memiliki makna mendalam. Terdapat 41 jenis jajak atau jajanan pasar, nasi tambak, nasi ragi, ayam panggang, ayam hitam, mandau, air minum, rokok, dan peduduk. Semua disusun sesuai aturan adat, seperti nasi tambak yang ditempatkan di atas telasak tunggal, nasi ragi di atas telasak gantung, serta jajak dan lauk-pauk lainnya di atas tembelong dan juhan. “Setiap jajak punya simbol doa dan pengharapan, bukan sekadar hidangan,” jelas Awang Imaluddin.

Ritual dimulai dari kediaman Sultan, tempat rombongan memohon restu sebelum berangkat. Sesampainya di setiap titik, pemangku adat melakukan memang (pembacaan mantra) dan besawai (menyebar beras serta bunga) dengan menghadap Sungai Mahakam. Prosesi ini diulang pada ketiga titik hingga seluruh sesajian tertata sesuai aturan adat.

Di titik terakhir, yakni Buntut Benua, terdapat perbedaan. Rombongan memasang dua telasak gantung yang berlawanan arah, dihiasi janur yang diikat dengan simpul. Simbol ini menandai bahwa seluruh prosesi Menjamu Benua telah selesai. Setelah itu, rombongan kembali ke kediaman Sultan untuk melaporkan bahwa ritual telah ditunaikan.

Bagi masyarakat Kutai, Menjamu Benua tidak hanya sekadar prosesi adat, melainkan juga warisan leluhur yang harus dijaga. Tradisi ini menegaskan bahwa Erau bukan sekadar pesta rakyat, tetapi juga sebuah rangkaian sakral yang menyatukan manusia, leluhur, dan alam gaib dalam satu ikatan spiritual. Dengan terlaksananya Menjamu Benua, masyarakat percaya bahwa Festival Erau akan berlangsung aman, lancar, dan penuh berkah.( Yuliana W)

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *