
Mediasiutama.com, Tenggarong – Fenomena menarik sekaligus memprihatinkan terjadi di beberapa daerah, terutama dalam penanganan kasus asusila yang melibatkan anak dan orang dewasa.
Sejumlah perkara yang semestinya diproses secara hukum justru berakhir dengan kesepakatan “jujuran” uang yang diminta keluarga korban sebagai syarat perdamaian. Tenggarong, Jumat, 17/10/2025.
“Banyak kasus berhenti karena keluarga pelaku bersedia membayar jujuran, bahkan mencapai ratusan juta rupiah,” ungkap seorang hakim yang pernah menjabat di Pengadilan Negeri Penajam.
Menurutnya, fenomena ini memperlihatkan bias sosial dan lemahnya pemahaman hukum masyarakat.
“Padahal, dalam kasus pencabulan, perdamaian di tingkat kepolisian seharusnya tidak dibenarkan jika alat bukti sudah lengkap,” tegasnya.
Ia mencontohkan, dalam beberapa sidang, saksi justru mengungkap adanya negosiasi antara kedua keluarga. “Kami sudah mau damai, tapi tidak ada kesepakatan uang jujuran,” kata seorang saksi dalam salah satu perkara.
Praktik ini menunjukkan bahwa proses hukum kerap berbenturan dengan norma sosial dan ekonomi. “Bagi sebagian masyarakat, harga diri dan status sosial keluarga kadang lebih diutamakan daripada penegakan hukum,” ujar hakim tersebut.
Fenomena “jual damai” ini menimbulkan dilema bagi aparat hukum, di satu sisi ada nilai kemanusiaan dan penyelesaian kekeluargaan, namun di sisi lain terdapat potensi penyalahgunaan hukum dan ketidakadilan bagi korban.
“Ini menjadi tantangan besar bagi penegak hukum untuk menegakkan aturan tanpa mengabaikan realitas sosial di lapangan,”pungkasnya.(Yuliana W)