
Mediasiutama.com, TENGGARONG – Dalam keheningan usia senjanya, seorang ibu menceritakan kisah hidupnya bersama almarhum suaminya, seorang veteran pejuang kemerdekaan yang pernah mengabdikan hidupnya untuk negeri. Dari masa perjuangan, kehidupan berumah tangga, hingga harapan terakhir bagi para janda veteran seperti dirinya.
“Almarhum Bapak itu mulai berjuang saat masih kuliah, kalau tidak salah di pesantren. Masa perjuangannya berlangsung sekitar 3 tahun 11 bulan. Waktu pulang ke Tenggarong, barulah kami menikah,” tutur sang ibu yang kini berusia 87 tahun.
Mereka menikah sekitar tahun 1960 atau 1961. Saat itu, sang suami telah menyandang status sebagai veteran meski masih bujang. Setelah menikah, mereka tinggal di Samarinda, di mana sang suami bekerja di Kantor Departemen Agama Provinsi, lalu pindah ke Tenggarong dan menjadi anggota Dewan Pemerintahan Daerah (DPD), pada masa ketika partai politik masih sedikit dan ia tergabung dalam Partai Masyumi.
Keluarga sempat menetap di Jakarta sebelum akhirnya kembali ke Kalimantan sekitar tahun 1970 atau 1971. Ibu ini mengaku tidak banyak tahu soal perjuangan suaminya karena baru mengenalnya setelah masa perang usai.
“Yang saya tahu, banyak veteran menikah dengan gadis-gadis muda, seperti saya waktu itu. Umur saya baru 20-an saat menikah,” kenangnya sambil tersenyum.
Kehidupan mereka selepas menikah berjalan biasa, tanpa kekurangan berarti, tetapi juga tanpa kemewahan. Namun, tantangan justru datang setelah sang suami wafat. Ibu ini harus membesarkan anak-anaknya sebagai janda.
“Alhamdulillah semua bisa saya lewati. Kami tinggal di rumah ini, yang merupakan pemberian orang tua saya, Haji Jafar,” ujarnya.
Sang suami wafat bukan di kampung halaman, melainkan di Tarakan, saat mengunjungi anak angkatnya, seorang anak Dayak yang diasuhnya. Beliau dimakamkan di Tarakan, bukan di Taman Makam Pahlawan.
“Waktu itu, beliau ikut kegiatan MTQ ke-9 bersama Menteri Agama Pak Mukti Ali. Di situlah beliau meninggal dunia. Saya masih di Jakarta, beliau sudah lebih dulu pulang ke Kalimantan,” katanya dengan nada lirih.
Meski tidak ada pesan perjuangan yang diwariskan secara eksplisit, satu hal sederhana tetap ia pegang teguh:
“Beliau pernah bilang, ‘Kamu tiap bulan harus bikin bubur kacang hijau.’ Itu katanya untuk kesehatan. Sampai sekarang, saya masih buat,” katanya sambil tersenyum kecil.
Kini, di usianya yang lanjut, ia berharap pemerintah terus menunjukkan kepedulian nyata terhadap para janda veteran. Ia mengapresiasi langkah Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yang secara rutin memberikan santunan.
“Di seluruh Indonesia ini, cuma Kutai Kartanegara yang memberikan santunan rutin untuk veteran. Kalau bisa, ya dinaikkan sedikit dari Rp900 ribu jadi sejuta,” ucapnya sembari tertawa ringan mengenang respons senyum-senyum Pak Bupati saat ia menyampaikan usulan tersebut.
Baginya, kehadiran simbol-simbol perjuangan seperti bendera Merah Putih yang dibawa langsung ke rumah oleh para pejabat adalah bentuk penghormatan yang sangat berarti.
“Kami ini generasi lama, tidak pernah ikut perang langsung. Tapi melihat bendera itu, saya merasa bangga dan terharu,” ucapnya dengan suara bergetar.
Ibu ini juga sempat aktif di organisasi seperti Ibu Teladan dan Gabungan Emansipasi Wanita (GEW). Kini ia menikmati masa tua dengan sesekali bertemu teman-teman lama, mengenang masa-masa penuh dinamika, dari perjuangan suami hingga peran dirinya sebagai ibu, istri, dan bagian dari sejarah bangsa.
“Kami hanya bisa berdoa, semoga pemerintah tetap peduli, dan para pejabat tidak hanya duduk di balik meja, tapi juga hadir di tengah masyarakat, ” tutupnya dengan penuh harap. (Yuliana W)