
Mediasiutama.com, TENGGARONG – Seni tari di lingkungan Kesultanan Kutai Kartanegara memiliki ke khasan tersendiri yang tidak hanya bernilai estetika, tetapi juga sarat dengan makna adat dan tradisi. Salah satu sosok yang terus menjaga keberlangsungan tari-tari tersebut adalah Aji Sri Anggrini Chandra Nila, pelatih tari di Sanggar Cahaya Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, di museum mulawarman tenggarong , yang aktif melatih sejak tahun 1983.
Menurutnya, tari Ganjur merupakan tarian penting yang wajib dipentaskan setiap malam dalam kegiatan adat di keraton. “Itu memang harus ditarikan setiap malam. Tidak ada gantinya. Kalau pun ada tarian lain, sifatnya hanya sebagai pelengkap,” ungkapnya.
Selain Ganjur, ada pula variasi tarian seperti Kanjar Bini, Kanjar Laki ,serta beberapa tarian Topeng. Meski demikian, Ganjur tetap dipandang sebagai inti pertunjukan karena nilai simboliknya yang merepresentasikan kewibawaan serta keberlangsungan tradisi Kesultanan Kutai.
Dalam hal teknis, jumlah penari sebenarnya fleksibel. Namun, Aji nila menjelaskan bahwa aturan tetap memperhatikan kapasitas ruang dan makna ritual dari tarian itu sendiri. “Kalau Kanjar Laki bisa lebih banyak, sedangkan Kanjar Bini biasanya lebih terbatas. Prinsipnya bukan sekadar jumlah, tapi bagaimana menjaga pakem,” katanya.
Keberlanjutan tari tradisi ini tak lepas dari proses latihan intensif. Di luar agenda acara besar, latihan rutin digelar tiga kali dalam seminggu. Namun jika mendekati event adat atau penyambutan tamu agung, intensitas latihan meningkat hingga empat sampai lima kali dalam sepekan.
“Harapan saya, generasi muda bisa terus belajar dan melestarikan tari-tari keraton ini. Jangan sampai putus di tengah jalan. Yang lama bisa jadi teladan, yang baru bisa lebih mengenal,” tutur Aji nila penuh optimisme.
Dengan dedikasi para pelatih seperti dirinya, tarian kraton Kutai tidak hanya sekadar tontonan, tetapi juga media pendidikan budaya yang menjaga keberlangsungan nilai-nilai warisan leluhur. (Yuliana W)