
Mediasiutama.com, Kutai Kartanegara — Di tengah khazanah budaya Nusantara, Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura masih menjaga erat warisan leluhur melalui rangkaian upacara sakral dalam Festival Erau. Salah satu ritual yang sarat makna adalah Beumban, prosesi penyucian Sultan sebelum dilaksanakannya tradisi massal Belimbur. Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Minggu (28/09/2025).
Beumban bukan sekadar seremoni adat, melainkan sebuah simbol penyempurnaan diri seorang pemimpin. Dalam prosesi ini, Sultan didudukkan atau berbaring di atas balai dan tilam, kemudian seorang kerabat tua, biasanya pangeran tertua, menggulung daun mayang pinang dari kepala hingga kaki Sultan sebanyak tiga kali, lalu dari sisi kanan sebanyak dua kali. Daun mayang pinang yang digunakan menjadi lambang keluhuran, kesucian, dan kesempurnaan wujud.
Proses tersebut diawali dengan pembungkusan Sultan menggunakan kain kuning, warna yang melambangkan kemuliaan, lalu diakhiri dengan pemercikan air suci atau tepong tawar oleh para Belian (dukun adat) maupun kerabat istana. Pemercikan air suci itu menjadi tanda simbolis bahwa Sultan telah “dibersihkan” dari pengaruh jahat, baik yang kasat mata maupun gaib. Setelah Beumban selesai, Sultan akan duduk menghadap timur dan melanjutkan ke tahapan ritual berikutnya, yakni Begorok dan Rangga Titi, sebelum akhirnya masyarakat diperkenankan melaksanakan Belimbur.
Latar belakang Beumban berakar pada kisah leluhur Puncan Karna yang berjodoh dengan Aji Raja Puteri. Peristiwa tersebut menjadi dasar filosofis bahwa seorang pemimpin harus terlebih dahulu disempurnakan secara spiritual sebelum memimpin rakyatnya dalam upacara besar. Tujuan utama Beumban adalah memastikan Sultan terbebas dari segala bentuk pengaruh buruk, sekaligus memperkuat legitimasi spiritual kepemimpinan.
Selanjutnya, prosesi Begorok menjadi simbol pembersihan diri dengan mencukur rambut dan kuku Sultan. Setelah itu, ritual Rangga Titi dilaksanakan sebagai lambang kesiapan Sultan menapaki tangga kehidupan dengan penuh kesucian dan keikhlasan. Puncaknya adalah Belimbur, tradisi saling siram air antara masyarakat yang melambangkan pembersihan diri sekaligus kebersamaan rakyat Kutai Kartanegara.
Dengan seluruh simbolisme dan makna filosofisnya, rangkaian dari Beumban hingga Belimbur menegaskan bahwa Sultan bukan hanya pemimpin politik dan budaya, tetapi juga figur yang dijaga kesucian lahir dan batinnya demi kesejahteraan kerajaan. Bagi masyarakat Kutai, ritual-ritual ini juga menjadi ruang kebersamaan, solidaritas, serta warisan budaya yang layak terus dilestarikan lintas generasi.(Yuliana W)