
Mediasiutama.com, Tenggarong – Kertayongan menjadi salah satu prosesi sakral yang menandai berakhirnya rangkaian ritual Bepelas dalam Pesta Adat Erau Kesultanan Kutai Kartanegara. Ritual ini dilaksanakan pada malam ketujuh, atau malam terakhir Bepelas, sebelum menuju puncak penutupan Erau. Keberadaan Kertayongan bukan sekadar seremoni adat, tetapi juga memiliki makna mendalam bagi kesinambungan tradisi dan kehormatan Kesultanan Kutai. Minggu, 28/09/2025, Ruang Stinggil Museum Negeri Mulawarman, Kutai Kartanegara.
Ritual Bepelas sendiri merupakan prosesi penyucian yang berlangsung selama tujuh malam berturut-turut. Pada malam terakhir, yaitu Kertayongan, Sultan Kutai Kartanegara tampil sebagai pusat ritual. Dalam suasana khidmat di Ruang Stinggil (Siti Hinggil) Museum Negeri Mulawarman, Sultan melaksanakan rangkaian prosesi yang sarat makna simbolik.
Salah satu bagian penting dalam ritual ini adalah penganugerahan gelar kebangsawanan. Pada Erau tahun 2025, Sultan Kutai menganugerahkan tidak kurang dari 54 gelar adat kepada tokoh masyarakat, pejabat daerah, serta individu yang dinilai berjasa dalam pembangunan dan pelestarian budaya. Penganugerahan ini tidak hanya menjadi bentuk penghargaan, tetapi juga simbol ikatan sosial antara Kesultanan dengan masyarakat luas.
Menariknya, terdapat kesalahpahaman yang kerap muncul dalam interpretasi ritual ini. Beberapa pihak menyebut bahwa Sultan “menari di atas tilam Erau”. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah Sultan melaksanakan prosesi sakral dengan menginjak gong pusaka, sebuah tindakan yang melambangkan kekuatan, kesucian, dan keberlangsungan tradisi. Tarian yang hadir dalam prosesi Bepelas adalah Kertayongan, tari topeng, dan tarian Ganjur yang dibawakan oleh para penari ritual sebelum dan sesudah acara inti, bukan oleh Sultan sendiri.
Ritual Kertayongan kemudian ditutup dengan sabda Sultan yang menjadi penegas makna dan pesan adat bagi masyarakat. Prosesi ini bukan sekadar simbol budaya, tetapi juga penanda eratnya hubungan antara Kesultanan Kutai Kartanegara, adat istiadat, dan kehidupan sosial masyarakat. Dengan berlangsungnya Kertayongan, Erau 2025 kembali meneguhkan posisinya sebagai warisan budaya tak benda yang sarat nilai sejarah dan spiritual. (Yuliana W)