Mediasiutama.com, Tenggarong – Rangkaian Bepelas pada malam pertama Festival Erau menjadi salah satu prosesi adat yang sarat dengan simbol-simbol penuh makna. Tidak hanya menghadirkan lantunan doa yang dibacakan secara berulang dengan penuh kekhusyukan, ritual ini juga menampilkan berbagai perlambang yang memperkuat spiritualitas kepemimpinan Sultan Kutai. Salah satu simbol yang menonjol adalah penggunaan panah yang diarahkan ke empat penjuru mata angin: Maghrib, Tasina, Fasina, serta arah lainnya yang dipercaya melambangkan perlindungan dari segala sisi kehidupan manusia.
Doa-doa yang dipanjatkan dalam prosesi ini tidak hanya sebatas permohonan, tetapi juga bentuk peneguhan keyakinan. Dalam setiap ucapannya, terkandung harapan agar Sultan Kutai senantiasa diberi keselamatan, kekuatan, serta kebijaksanaan dalam menjalankan tugasnya memimpin rakyat. Angka tujuh yang menjadi bagian penting dari hitungan ritual dipandang memiliki makna spiritual yang mendalam, yakni kesempurnaan, perlindungan, dan keseimbangan kosmos yang harus senantiasa dijaga oleh seorang pemimpin.
Selain itu, penyebutan dewa-dewa dalam prosesi adat ini memperlihatkan kedalaman falsafah budaya Kutai. Nama-nama seperti Dewa Karang, Dewa Tansi, dan Dewa Bajang tidak hanya sekadar disebut sebagai bagian dari doa, melainkan diyakini sebagai representasi kekuatan alam raya yang menjaga keseimbangan hidup manusia. Kehadiran simbol-simbol tersebut mencerminkan penghormatan masyarakat Kutai terhadap kekuatan gaib yang diyakini turut melindungi negeri dan rakyatnya.
Malam Bepelas pun menghadirkan suasana yang penuh khidmat dan magis. Prosesi ini menjadi pengingat bahwa kepemimpinan bukan hanya tanggung jawab duniawi semata, tetapi juga mengandung dimensi spiritual. Melalui doa dan ritual adat, Sultan dipersiapkan agar selalu teguh, arif, dan senantiasa berada dalam lindungan kekuatan ilahi dalam mengemban amanah besar sebagai pemimpin rakyat Kutai Kartanegara. (Yuliana W)
