Mediasiutama.com, Tenggarong – Dalam dunia seni tari tradisi, tak banyak yang mampu mempertahankan idealisme sekaligus ketekunan dalam melestarikan budaya daerah. Salah satunya adalah Aji Maya Melati Winawati Samadia, penari topeng Kutai yang telah mengabdikan dirinya sejak remaja demi menjaga napas warisan leluhur melalui gerak dan jiwa tari.
Perjalanan Aji Maya dimulai bukan langsung dari topeng. Sejak kanak-kanak, ia telah mengenal tarian Kanjar Bini dan Kanjar Ganjur, dua tarian khas Kutai yang menjadi dasar pengenalannya pada dunia gerak.
“Sebenarnya sebelum tari topeng, saya sudah menari Kanjar Bini waktu SD. Baru ketika SMP, saya mulai lagi dengan Kanjar Ganjur,” ujarnya mengenang.
Ketertarikannya terhadap tari topeng tumbuh pada masa SMA, tepatnya pada tahun 1988, setelah melihat para kakaknya menari. Dari sanalah tekadnya muncul untuk belajar topeng Gunung Sari salah satu varian topeng yang dikenal memiliki tingkat kesulitan tinggi karena menggabungkan teknik, ritme, dan penjiwaan.
Aji Maya mengungkapkan bahwa proses belajar topeng tidak sekadar menghafal gerakan, melainkan menyatukan rasa, irama, dan karakter tokoh yang dibawakan.
“Pertama kami harus menghafal lagu dulu. Setelah itu baru gerakan pertama, yaitu mendapan, diulang terus sampai benar-benar menyatu dengan jiwa,” katanya.
Ia mengaku, proses itu memerlukan kesabaran luar biasa. Setiap sore selepas sekolah, dirinya berlatih di bawah bimbingan sang ayah yang juga dikenal sebagai pelestari seni tari. “Gerakan topeng itu berbeda dengan tari lain. Kaki harus menekuk terus, dan setiap gerak ada maknanya,” ujarnya.
Kini, setelah puluhan tahun menari, Aji Maya tetap merasa dirinya belum sempurna. “Kesempurnaan itu bukan kita yang menilai, tapi orang lain yang melihat,” tuturnya rendah hati.
Meski demikian, masyarakat Kutai mengakui kiprahnya sebagai salah satu penari topeng terbaik yang mampu menghadirkan kembali jiwa dan karakter Gunung Sari dengan penuh penghayatan.(Yuliana W)
