November 3, 2024

Keterangan foto: Ilustrasi bekantan hidung panjang. (istimewa/int)

Mediasiutama.com, Tenggarong – Di tepian Sungai Hitam, Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebuah kisah perjuangan terus berlangsung. Aidil Amin dan rekan-rekannya di Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sungai Hitam Lestari, berkomitmen penuh untuk menjaga bekantan, primata endemik yang dikenal dengan hidung panjangnya yang khas. Kisah ini bermula pada awal 1990-an, ketika Aidil masih remaja dan harus merawat seekor bekantan yang terluka akibat tembakan pembalak liar.

Kerusakan habitat bekantan sering terjadi di tepi sungai, tempat hutan mudah diakses dan sering dialihfungsikan menjadi lahan pertanian atau permukiman. Pada 1990-an, habitat bekantan mencapai 29.500 km2, namun 60% dari area tersebut kini telah berubah fungsi.

“Di Samboja, jumlah bekantan yang tercatat pada tahun 2013 adalah 188 ekor, namun perubahan ekologis telah mengganggu kesehatan habitat mereka,” terang Aidil berkisah pada Rabu (27/3/2024).

Aidil dan kelompoknya tidak tinggal diam. Mereka membersihkan Sungai Hitam dari sampah, melindungi bekantan dari perburuan, dan menanam serta merawat mangrove jenis rambai, yang buahnya menjadi makanan bekantan. Namun, Aidil menyadari bahwa upaya mereka tidak cukup jika dilakukan sendirian. Oleh karena itu, mereka membentuk Pokdarwis Sungai Hitam Lestari, yang kini menjadi benteng terakhir dalam pelestarian bekantan dan habitatnya.

Kisah ini bukan hanya tentang pelestarian satwa langka, tetapi juga tentang bagaimana sebuah komunitas dapat berperan aktif dalam konservasi. Hingga akhirnya pada 2019, salah satu perusahaan migas yang memiliki wilayah kerja di Samboja, memberikan dukungan kepada Aidil dan kelompoknya lewat Program Ekowisata Sungai Hitam Lestari.

“Kami mendapatkan banyak dukungan setelah itu. Tidak hanya soal pelestarian, tetapi juga pengembangan ekowisata,” kata pria yang mendapat penghargaan Kandidat Kalpataru 2020 itu.

Keberadaan Pokdarwis memang didukung sebagai wadah koordinasi sekaligus lembaga hukum yang menaungi aktivitas pelestarian bekantan.

Pokdarwis Sungai Hitam juga mengembangkan ekowisata berbasis pelestarian bekantan dengan memanfaatkan sempadan sungai yang sebelumnya kurang termanfaatkan dengan baik.

Beberapa kegiatan yang sangat bermanfaat, kata Aidil, antara lain pelatihan pemantauan dan perlindungan habitat bekantan, serta pelatihan memandu wisatawan (tour guide). Untuk dapat melihat bekantan liar di Ekowisata SHL, wisatawan lokal dikenakan tarif Rp300 ribu per kapal (untuk 4 pax) atau setara Rp 75 ribu per orang. Sedangkan wisatawan mancanegara (wisman) dikenakan tarif Rp130 ribu per orang untuk satu jam susur sungai. Biaya susur sungai bisa bertambah jika wisatawan menginginkan durasi lebih panjang.

Di samping susur sungai yang menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin melihat langsung bekantan, Pokdarwis SHL juga mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) anggotanya. Antara lain, pelatihan pengolahan buah nipah menjadi klapertart serta produksi teh jeruju.

Di luar pengembangan kapasitas SDM itu, Pokdarwis Sungai Hitam Lestari juga terbantu dengan pembangunan fisik seperti renovasi gudang, pembuatan plang, pembuatan dermaga (jetty), serta pengadaan kapal.

Dengan kesiapan dan kemandirian dari Pokdarwis, Ekowisata Sungai Hitam Lestari (SHL) kini menjadi salah satu destinasi wisata andalan Samboja. Ekowisata ini menawarkan susur sungai sembari melihat bekantan liar.

(Adv/Diskominfo Kukar)

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *